Senin, 20 September 2021

Riwayat Hidup

St. Andreas Kim Taegon adalah imam Katolik pertama dari Korea. Ia lahir di tengah keluarga terpandang masyarakat Korea saat itu. Keluarganya kemudian berubah memeluk agama Katolik dan karena itu anggota keluarganya banyak yang dimartir termasuk ayahnya, Ignatius Kim, dihukum mati. Menjadi Kristen adalah suatu tindakan terlarang di Korea saat itu yang sangat kental dengan aliran Konfusianisme-nya. Karena laki-laki dalam keluarganya banyak yang dibunuh, keluarga Kim pun menjadi miskin dan ibunya menjadi pengemis.

Setelah dibaptis pada umur 15 tahun, Kim Taegon melakukan perjalanan jauh untuk masuk seminari di Makau yang pada saat itu adalah jajahan Portugis. Setelah beberapa tahun ia kembali ke Korea lalu menyebrangi laut ke Shanghai dan ditahbiskan menjadi seorang imam oleh Uskup dari Perancis pada tahun 1845. Ia kemudian kembali ke Korea untuk berkhotbah dan menyebarkan Injil.

Pengalaman Kim melakukan perjalanan diam-diam dari Korea ke Cina dengan berjalan kaki dan menggunakan perahu nelayan kecil membantu Kim membuat peta yang cukup akurat. Ia kemudian ditugaskan untuk membantu lebih banyak misionaris masuk ke Korea lewat laut tanpa diketahui petugas perbatasan. Ia kemudian ditangkap, disiksa dan dihukum pancung di sungai Han dekat kota Seoul pada usia 25 tahun, hanya selang setahun setelah ia ditahbiskan.

Kata-kata terakhirnya adalah:

“Ini adalah waktu terakhir dari hidupku, dengarkan aku baik-baik: bila aku pernah berkomunikasi dengan orang asing, maka hal ini terjadi untuk agama dan Tuhan-ku. Adalah untuk-Nya aku ini mati. Kehidupan abadiku baru mulai. Jadilah orang Kristiani bila engkau berharap untuk bahagia setelah meninggal dunia, karena Tuhan memiliki hukuman abadi bagi mereka yang menolak untuk mengenal-Nya.”

Andreas Kim dan ayahnya Ignatius Kim dibeatifikasi pada tanggal 25 Juli 1925. Pada tahun 1949, Paus menetapkan Andreas Kim Taegon sebagai pelindung para imam Katolik di Korea.

Sebanyak 103 orang Katolik dibunuh antara tahun 1839 dan 1867. Dalam kunjungannya ke Korea, pada tanggal 6 Mei 1984, Paus Yohanes Paulus II mengkanonisasi Andreas Kim Taegon bersama dengan 102 orang martir Korea lainnya, termasuk diantaranya Santo Paulus Chong Hasang, seorang katekis awam. Ini adalah upacara kanonisasi pertama yang diadakan di luar Vatikan. Sebagian besar dari martir ini adalah orang awam, mulai dari yang tua sampai muda, laki-laki dan perempuan, orang miskin dan orang kaya. Hari raya penghormatan kepada mereka adalah tanggal 20 September.

Selain itu, ada sepuluh anggota Serikat Misi Asing Paris pun menjadi martir: 3 Uskup dan 7 Imam. Dengan ini, jumlah total martir di Korea ada 113 orang. Kebebasan beragama dimulai di Korea tahun 1883.

Apa maknanya bagi kita?

Kita mengagumi Gereja di Korea yang pada dasarnya didirikan oleh umat awam selama berpuluh tahun. Bagaimana orang-orang Katolik ini dapat bertahan tanpa Ekaristi? Memang Ekaristi adalah puncak dari iman Katolik dan sakramen-sakramen lainnya sangat penting, tetapi disini kita belajar bahwa iman yang hidup adalah dasar dari semuanya. Sakramen menambahkan iman dan berkat yang sudah ada sebelumnya.

Santo Andreas Kim Taegon dan Santo Paulus Chong Hasang mewakili orang Katolik Korea yang pemberani dan rela membayar kasih Kristus dengan nyawa mereka. Saat upacara kanonisasi, Paus Yohanes Paulus II berkata:

“Gereja di Korea sangatlah unik karena didirikan oleh umat awam. Gereja muda ini dengan iman yang kuat berhasil bertahan melewati penindasan yang datang silih berganti. Sehingga, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, Gereja ini telah melahirkan 10.000 martir. Kematian para martir ini memberi kehidupan sehingga Gereja Katolik terus bertumbuh pesat di Korea sampai saat ini. Bahkan para martir ini tetap menjadi penopang bagi umat Kristiani yang hidup di bagian Utara dari negara yang terbelah ini.”

sumber: http://cg.amoredio.org/cg-reading/santo-andreas-kim-taegon/

 Santo-Santa

20 September

Santa Kolumba dan Pamposa, Martir

Kolumba dan Pamposa adalah dua orang biarawati Benediktin. Ketika biara mereka diserang dan dihancurkan oleh Sultan Muhammed I dari Cordova, Spanyol, semua suster lain melarikan diri, kecuali Suster Kolumba. Di hadapan para penangkapnya ia mengakui diri sebagai biarawati. Oleh karena itu dia dipenggal kepalanya. Menyaksikan peristiwa itu, Pamposa menghadap raja untuk mempertobatkannya, tetapi ia mengalami nasib yang sama seperti Suster Kolumba. Peristiwa berdarah itu terjadi atas diri kedua suster itu pada tahun 853.

 

Santo Eustakius, Martir

Eustakius berasal dari Madrid, Spanyol. Dalam jajaran para kudus, ia dihormati sebagai salah seorang santo pelindung bagi para pemburu dan penolong dalam kesukaran hidup. Kisah hidupnya tidak cukup jelas diketahui. Namun dari cerita yang berkembang di kalangan umat beriman, diketahui bahwa ia adalah seorang panglima militer Romawi yang sangat masyhur.

Keanggotaannya di dalam Gereja Kristus terjadi secara ajaib. Konon sementara ia berburu di Guadagnolo, Italia Tengah, tampaklah padanya seekor rusa jantan yang menyandang sebuah 'salib' di antara tanduktanduknya. Ia terpaku memandang rusa itu dan tidak berani membunuhnya. Semenjak itu ia mulai banyak merenung perihal arti penglihatan ajaib itu. Lalu ia memutuskan untuk menjadi Kristen bersama anak isterinya. Keputusan ini mengakibatkan ia dipecat dari jajaran militer Romawi dan dari jabatannya sebagai panglima perang. Ia kemudian mengalami banyak kesulitan hidup, menjadi miskin dan melarat. Isteri dan anak-anaknya dipisahkan dari padanya.

Krisis di dalam kekaisaran Romawi menyebabkan ia dipanggil kembali oleh Kaisar Trajanus untuk memimpin pasukan ke Eropa Timur. Dalam ekspedisi itu secara tak terduga ia bertemu kembali dengan isteri dan anak-anaknya jauh dari Roma. Dalam peperangan itu, Eustakius memperoleh kemenangan yang gemilang atas pasukan musuh, dan disambut dengan meriah oleh rakyat Roma. Sebagai ucapan syukur kaisar mengadakan upacara korban untuk menghormati dewa-dewi Romawi. Eustakius menolak mengikuti upacara kafir itu justru karena imannya akan Kristus. Ia memang sadar sepenuhnya bahwa kekafiran merupakan lawan yang berat dan berbahaya, namun demi imannya ia dengan tegas menolak setiap bujukan kaisar untuk ikut serta di dalam upacara syukur kafir itu. Karena pendiriannya yang tegas itu, akhirnya ia bersama keluarganya dicampakkan ke dalam api hingga hangus terbakar pada tahun 120.

sumber: imankatolik.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar